Paradoks

Hidup itu paradoks.

Untuk tahu rasanya memiliki, kau mesti kehilangan.

Sehat terasa berfaedah manakala kau sakit.

Mengasihi bukan berarti tak tersakiti. Kasih menang ketika kau tahu disakiti tapi tetap mendampingi.

Kesetiaan diuji ketika hidup bukan penuh dengan tawa namun cucuran air mata.

Penyesalan selalu datang terlambat tapi dia datang bersama rasa bersalah. Rasa yang mengocok perut, menonjok jiwa hingga jiwa gulana.

Pengampunan harusnya tak berbatas dan tanpa kuota. Ah, siapakah yang irit menggunakan kuotanya? Mungkin tak sampai seorang manusia bisa melangkahkan kaki, telah habis masanya.

Bersedih, siapa menginginkannya?

Tertawa, bahagia, sukacita berderet itu cita-cita mulia.

Lalu bagaimana kau rasakan bahagia bila kau tak ambil sedihnya?

Kadang pula bertanya pada Sang Maha Kuasa? Kenapa pula ada asa serupa ini?
Lemahlah tulangku. Lesulah jiwaku. 

Siapalah aku ini.

Kutanya pada siapa? Selain Dia pemilik jiwa, raga dan nyawa.

Jawabnya…

Tak pernah sekalipun Dia meninggalkan.

Dia tunjukkan hadiahNya padaku.

Tak semua mendapatkannya. Penggembira hati, obat duka dengan aroma, suara, dan tingkahnya.

Pemilik jiwa lah yang akan menjaganya. Kami hanyalah pengharap yang terbaik baginya. 

Inilah jalan paradoks kehidupan.

Agar kau ingat bahwa kau tak punya kuasa.

Dan sadar semua adalah anugerahNya. 

Bahkan derita yang menghujam hingga menyumbat jalan udara. Itupun anugerahNya.

Semoga saiah dan pemirsah semuanya, kuat menjalaninya.

Sampai waktu akan menyembuhkan segalanya.

1 thought on “Paradoks”

Leave a comment